Usulan Indonesia, standar bawang merah dan pala yang dirumuskan oleh Codex Alimentarius Commisission (CAC) diterima oleh dunia internasional. Codex telah menetapkan kedua standar tersebut menjadi standar Codex. Sebagai lembaga yang mewakili Indonesia dalam Codex Alimentarius Commission (CAC) – Badan Internasional di bawah FAO dan WHO yang bertugas mengembangkan standar pangan internasional, Badan Standardisasi Nasional (BSN) bersama Kementerian/Lembaga terkait serta pemangku kepentingan lain juga turut aktif dalam forum CAC.
Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN, Hendro Kusumo di Kantor BSN, Jakarta pada Rabu (31/05/2023) mengatakan, Standard for Onions and Shallots sebagai dokumen CXS 348-2022 dan Standard for dried seeds – Nutmeg sebagai dokumen CXS 352-2022 telah diadopsi/ditetapkan menjadi standar Codex oleh Sidang CAC ke-45 pada beberapa waktu lalu. Hendro adalah pemimpin Delegasi RI saat penetapan usulan tersebut.
Kedua standar itu, menurut Hendro, diusulkan sejak tahun 2014. Pengusulan standar bawang merah pada Sidang Codex Committee on Fresh Fruits and Vegetables (CCFFV) ke-18 tahun 2014, mengacu pada SNI 3159:2013 Bawang merah (Allium cepa var.ascalonicum). Selanjutnya, usulan tersebut beberapa kali direvisi dan dibahas oleh Komite, hingga akhirnya Sidang CCFFV ke-20 pada tahun 2017 menyepakati bahwa usulan Indonesia tersebut akan disubmit untuk disetujui sebagai new work oleh Sidang CAC41 sebagai combined standard dengan onions (bawang bombay).
Standard for Onions and Shallots memuat ketentuan mengenai persyaratan mutu untuk onions (bawang bombay) dan shallots (bawang merah) setelah proses penyiapan dan pengemasan. Standar tersebut berlaku untuk onions dari varietas Allium cepa L.; shallots dari varietas Allium cepa Aggregatum; dan grey shallots dari varietas Allium oschaninii yang dipasok dalam bentuk segar untuk konsumen. Standar tersebut tidak berlaku untuk onions dan shallots yang dimaksudkan untuk digunakan dalam proses industri.
Sementara, pengusulan standar pala dilakukan pada Sidang Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH) ke-1 yang dilaksanakan pada tahun 2014. Usulan tersebut mengacu SNI 0006:2015 Pala, yang pada saat itu masih dalam tahap perumusan standar dan merupakan revisi dari SNI 01-0006-1987 Pala, SNI 01-0007-1987 Fuli dan SNI 01-2045-1990 Biji pala dengan batok.
Standar pala berlaku untuk biji kering, dalam bentuk kering atau dehidrat sebagai rempah, dari Myristica fragrans Houtt yang merupakan kelompok Myristicaceae, yang telah dipanen dan diberi perlakuan pasca-panen seperti pengupasan, pengeringan, penyortiran, pemecahan, pemilahan dan/atau penggilingan sebelum pengemasan akhir dan dijual kepada konsumen dalam bentuk utuh, pecahan atau bubuk, untuk konsumsi langsung.
Kendati demikian, standar ini tidak berlaku untuk pala yang digunakan untuk keperluan proses industri.
Sebagai informasi, SNI 0006:2015 Pala telah direvisi menjadi SNI 6:2021 Pala. Revisi SNI tersebut mengacu pada draft Standard for Dried Seeds – Nutmeg yang sedang dalam tahap perumusan serta ISO 6577:2002. Nutmeg, whole, or broken, and mace, whole or in pieces (Myristica fragrans Houtt.) — Specification.
Hendro menjelaskan, adanya pengusulan standar pala dan bawang merah dikarenakan pala merupakan salah satu komoditas tertua yang diperdagangkan di dunia. Perbedaan kepentingan antara produsen dan konsumen menghasilkan keragaman standar. “Hal inilah yang menyebabkan kesulitan dalam perdagangan, khususnya dalam perlindungan konsumen. Oleh karenanya, harmonisasi standar menjadi penting untuk menjadikan standar acuan tunggal,” jelas Hendro.
Tidak hanya harmonisasi standar, Hendro mencontohkan terkait pala, pengajuan menjadi standar Codex dilihat juga dari peningkatan produksi dan ekspor pala Indonesia yang cukup besar.
Dari sisi produksi, tiap tahunnya tingkat produksi pala di dunia semakin meningkat. Berdasarkan data FAOSTAT, pada tahun 2009, jumlah produksi, 72.475 ton kemudian pada tahun 2013, meningkat menjadi 97.348 ton.
Sebagai gambaran, Asia merupakan wilayah produksi pala dan fuli (bunga pala) terbesar. Tumbuhan tersebut juga dapat tumbuh di Amerika Tengah. FAOSTAT (2013) mencatat, Guatemala, Indonesia, India dan Nepal merupakan empat negara produsen terbesar. Berdasarkan negara penghasilnya, pala dan fuli paling banyak diproduksi di Guatemala (40 %), Indonesia (27 %), India (17,56 %), Nepal (7 %), Laos (4 %) dan lainnya (4 %). Tidak jarang, juga ditemui pala dan bunga pala ditemukan di Afrika.
Data FAOSTAT (2013) menunjukkan Arab Saudi merupakan negara pengimpor terbesar untuk pala dan fuli. Diikuti, Jerman, Belanda, India, AS, dan Inggris dengan jumlah impor 128.768 ton, 44.897 ton, 37.230 ton, 36.737 ton dan 23.200 ton.
Dengan keterlibatan Indonesia dalam penyusunan standar Codex, Hendro berharap dapat meningkatkan perlindungan kesehatan konsumen, memperjuangkan kepentingan nasional, dan memastikan pemenuhan standar dan regulasi nasional telah selaras dengan ketentuan standar Codex sehingga produk pangan Indonesia dapat diterima dalam perdagangan internasional.