Fortifikasi Produk Pangan: Apa, Mengapa, dan Untuk Siapa?

Pemenuhan pangan bergizi bagi masyarakat sangat penting dalam menghadapi masa pandemi. Fortifikasi merupakan salah satu metode penambahan vitamin serta mineral tertentu ke dalam bahan pangan yang merupakan sebuah peluang dalam menyediakan pangan bergizi bagi seluruh lapisan masyarakat, terlebih lagi bagi populasi rawan gizi. Produk-produk yang masuk dalam kategori wajib untuk difortifikasi diantaranya adalah tepung terigu dan minyak goreng sawit, melalui Permenperin No.1/2021 untuk SNI Tepung Terigu dan Permenperin No. 46 Tahun 2019 yang mewajibkan SNI Minyak Goreng Sawit.

“Ditilik dari data yang ada tahun 2019 sebesar 27,7% yang mengindikasikan 3 dari 10 anak balita di Indonesia menderita stunting. Ini tentunya masih jauh dari standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu maksimum 20% dari populasi di setiap negara,” jelas Deputi Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN), Zakiyah saat membuka webinar “Fortifikasi Pangan: Apa, Mengapa, dan Untuk Siapa?” pada Kamis, (8/7/2021).

Kekurangan mikronutrien memiliki dampak jangka pendek yaitu berpengaruh pada perkembangan otak anak balita, kecerdasan, yang dapat dilihat secara fisik berupa gangguan pertumbuhan maupun gangguan metabolisme di dalam tubuh anak balita. Secara jangka panjang dapat mempengaruhi kekebalan tubuh, sehingga menjadi mudah sakit serta resiko lain seperti penyakit diabetes, jantung, stroke, dan lain-lain.

Zakiyah mengungkapkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi produktivitas manusia Indonesia. Salah satu jalan keluar yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kekurangan mikronutrien adalah melakukan fortifikasi pangan. Penambahan mikronutrien dilakukan pada makanan terutama untuk makanan pokok untuk meningkatkan asupan vitamin dan mineral di masyarakat. “Untuk itu, fortifikasi pangan untuk bahan pangan seperti tepung, minyak goreng sawit, dilakukan untuk mempercepat perbaikan gizi di Indonesia oleh Pemerintah,” ungkap Zakiyah.

Untuk meningkatkan efektivitas fortifikasi pangan, salah satu yang dilakukan oleh BSN bersama Stakeholder adalah bagaimana mengimplementasikan Standar Nasional Indonesia (SNI) diantaranya SNI 3751:2018 Tepung Terigu dan SNI 7709:2019 mengenai Minyak Goreng Sawit. “Penerapan kedua SNI ini juga berkontribusi untuk mendukung salah satu indikator SDGs yaitu No Hunger, mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, dan menggalakkan pertanian yang berkelanjutan,” lanjut Zakiyah.

“Dari 13.120 SNI yang sudah ditetapkan ada sekitar 2.000 SNI di sektor pangan, 183 UMKM yang difasilitasi BSN di tahun ini, semoga dapat menciptakan role model penerapan mikronutrien di masyarakat,” tutup Zakiyah.

Untuk mengetahui perjalanan pengembangan SNI Tepung terigu sebagai bahan makanan dan SNI Minyak goreng sawit, Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal BSN, Wahyu Purbowasito menerangkan bahwa SNI 3751:2018 Tepung terigu sebagai bahan makanan awalnnya sudah dirumsukan pada tahun 2009 kemudian ada revisi pada tahun 2017, menjadi bahan SNI Wajib yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian. Terkait SNI 7709:2019 Minyak Goreng Sawit sudah dirumuskan pada tahun 2012, terdapat revisi pada 2019 dan ada pemberlakuan wajibnya.

“SNI Minyak Goreng Sawit dan Tepung Terigu termasuk mandatory atau yang beredar di pasar wajib memenuhi ketentuan yang ada di SNI. Vitamin A pada minyak goreng sawit wajib mengandung Vitamin A minimal 45 IU/g. Untuk pembuktian pemenuhan peraturan tersebut melalui sertifikasi,” terang Wahyu.

Prinsip-prinsip pengembangan SNI adalah transparansi; terbuka; tidak memihak dan konsensus; efektif dan relevan; koheren; dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan termasuk mempertimbangkan kemampuan UMKM atau dimensi pengembangan. “SNI wajib ada review minimal satu kali setiap lima tahun apakah masih sesuai, baik dari parameter, metode uji atau bahkan dari sisi isu standar tersebut,” jelas Wahyu.

Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dhian Probhoyekti Dipo, dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa pemenuhan zat gizi mikro di dalam pangan berfortifikasi menjadi penting yang tertuang pada RPJMN 2020 – 2024 yang salah satunya percepatan perbaikan gizi yang fokus pada penurunan kematian ibu dan stunting. Untuk itu, strategi Kementerian Kesehatan di dalam percepatan penurunan stunting melalui penguatan intervensi gizi spesifik yaitu promosi dan konseling menyusui; promosi dan konseling pemberian makan bayi dan anak; pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita; suplementasi gizi mikro; penanganan masalah gizi dengan pemberian makanan tambahan; tatalaksana gizi buruk.

“Program fortifikasi di Indonesia antara lain fortifikasi garam menambahkan Iodium KIO3 30 ppm; fortifikasi tepung terigu menambahkan zat besi, Folic Acid, vitamin B1 dan B2; fortifikasi minyak goreng sawit menambahkan vitamin A 45 IU,” jelas Dhian.

Turut hadir dalam kesempatan yang sama, Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Ericha Fatma Yunianti yang menjelaskan bahwa Permenperin Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit secara wajib masih memperbolehkan produk minyak goreng sawit yang diproduksi dan dikemas tanpa tanda SNI untuk beredar sampai dengan 31 Desember 2021. Sementara itu, Pemberlakuan SNI 3751:2018 secara wajib sudah dilaksanakan sejak tahun 2001 melalui Kepmerindag Nomor 323/MPP/Kep/11/2001.

Mewakili dari pihak industri, R&D Technologist – R&D Department Head Wilmar Group Indonesia, Theresia Oetama menyampaikan bahwa Sistem sertifikasi PT. Wilmar Nabati Indonesia yang telah diperoleh hingga saat ini adalah Sistem Jaminan Halal MUI, SNI 7709:2019 Minyak goreng kelapa sawit, SNI 3751:2009 Tepung terigu sebagai bahan makanan, FSSC 22000 ver.5 Sistem Keamanan Pangan, ISO 9001:2015 Sistem Manajemen Mutu, ISO 14001:2015 Sistem Manajemen Lingkungan, ISO/IEC 17025:2008 Sistem Manajemen Laboratorium, OHSAS 18001:2007 Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, RSPO sertifikasi terkait sustainability dari kelapa sawit.

Sebagai penutup, Direktur Penguatan Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN, Heru Suseno berpesan, kebijakan yang sudah berlangsung lama perlu evaluasi untuk pengembangan SNI kedepan, bersama dengan penerapannya. Heru berharap, fortifikan yang digunakan untuk fortifikasi yang masih berasal dari impor dapat terus berkurang kedepannya, dan standardisasi dapat menjamin kebutuhan gizi masyarakat sekaligus berkontribusi mendukung industri dalam negeri untuk terus berkembang, dalam skala yang lebih luas lagi untuk ketahanan ekonomi negara dan masyarakat terus dapat berjalan dengan baik.

Acara yang dimoderatori oleh Koordinator Kelompok Substansi Diseminasi SPK – BSN, Tintin Prihatiningrum berjalan dengan sangat interaktif yang melibatkan interaksi tanya jawab antara para peserta dan narasumber. (PjA – Humas)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *